Categories
Categories
Abu Ubaidillah
by on March 27, 2021
117 views
doapengasih.com - Pembahasan tentang hukum perkawinan berawal dari Kitab Hukum Kanonik (KHK) 1983, kanon 1055: Perjanjian perkawinan, bersama mana pria dan perempuan membentuk antar mereka kebersamaan seluruh hidup, dari cii-ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri dan juga pada kelahiran dan pendidikan anak; oleh Kristus Tuhan perkawinan antara orang-orang yang dibaptis diangkat ke martabat sakramen . Karena itu antara orang-orang yang dibaptis tidak mampu tersedia kontrak perkawinan sah yang tidak bersama sendirinya merupakan sakramen. Dalam kanon 1055 "1" dan "2" tersebut di atas termuat 5 inspirasi pokok berkenaan bersama hakekat dan tujuan perkawinan. Yang pertama, yaitu: 1. PERKAWINAN ADALAH PERJANJIAN KASIH ANTARA SUAMI-ISTERI Kalau kita hadir dalam suatu pemberkatan perkawinan di Gereja, salah satu bagian perlu dalam acara tersebut adalah masing-masing pengantin mengucapkan janji perkawinan di hadapan Tuhan, imam, 2 orang saksi, dan hadirin lainnya. Dengan barangkali beraneka variasi yang berbeda, intinya masing-masing pihak tunjukkan bahwa: sejak waktu itu ia pilih pasangannya jadi suami atau isteri. Ia berjanji untuk mencintai pasangannya dalam senang dan duka. Ia berjanji pula untuk jadi bapak/ibu yang baik bagi anak-anak yang dipercayakan Tuhan kepada mereka. Itulah yang disebut janji perkawinan. Janji inilah yang menyebabkan mereka melangsungkan perkawinan. Tanpa janji itu tidak berjalan perkawinan. Janji kasih itu sendiri sesungguhnya bukan merupakan sesuatu yang baru mirip sekali. Selama mereka berpacaran dan secara khusus buat persiapan perkawinan, perlahan-lahan mereka mulai membangun dan mewujudkan kasih itu sendiri. Dalam peluang perkawinan kasih yang mereka hayati dinyatakan secara resmi dan menjadikan ikatan kasih mereka berdua resmi pula. Mereka diakui udah menikah secara sah. Berbeda bersama tahu kontrak, perkawinan sebagai suatu perjanjian kasih memuat pernyataan kesamaan spiritual dari dua privat dan kesamaan dalam kekuatan mereka untuk saling berikan dan terima secara utuh satu mirip lain. Maka perjanjian mengandaikan pilihan bebas, artinya orang tak mampu menikah jika terpaksa. Perjanjian melibatkan jalinan antar privat yang utuh, melibatkan kesatuan spiritual, emosi, dan fisik. Paham inilah yang diajarkan Gereja layaknya yang direfleksikan dalam Konsili Vatikan II. 2. PERKAWINAN ADALAH KESEPAKATAN UNTUK SENASIB SEPENANGGUNGAN DALAM SEMUA ASPEK HIDUP Menarik bahwa arti latin yang dipakai untuk mengungkapkan hakekat ini adalah ‘consortium totius vitae’, artinya: senasib-sepenanggungan dalam seluruh aspek hidup. Gagasan ini dinyatakan dan dikatakan secara bagus pada waktu mempelai mengimbuhkan janji, yakni berkenan setia dalam senang dan duka. Ungkapan ini benar-benar sederhana, tapi begitu kaya dan tidak selalu ringan untuk mewujudkannya. Mudah diucapkan pada waktu menikah, lebih-lebih lebih ringan lagi pada waktu pacaran. Tetapi jadi tidak ringan pada waktu mewujudkan dalam perjalanan hidup perkawinan selanjutnya. Dalam perihal ini benar-benar dibutuhkan semangat kerendahan hati, keterbukaan, dan saling berkenan berkorban. Pengalaman tunjukkan bahwa mengandalkan kekuatan sendiri sering mulai benar-benar berat mewujudkan janji tersebut. Namun bersama berkat Tuhan, yang berat dan tidak ringan ini mampu diwujudkan pula dan membuahkan kebahagiaan yang sering tidak terduga sebelumnya. 3. PERKAWINAN BERTUJUAN UNTUK KESEJAHTERAAN SUAMI-ISTERI Ada lebih dari satu tujuan perkawinan. Salah satu yang pokok adalah membangun kesejahteraan suami-isteri. Mereka bersama-sama berkenan mewujudkan apa yang mereka cita-citakan/impikan, yakni berbahagia lahir dan batin. Dasar dan semangat mewujudkan kebahagiaan adalah api cinta yang tumbuh mekar dalam hati masing-masing pasangan. Pengalaman menyebutkan bahwa dasar mengapa orang pilih pacar dan berkenan menikah dengannya adalah dikarenakan ia menyayangi pasangannya. Selalu tumbuh kerinduan untuk bersua lebih-lebih mengimbuhkan yang paling baik. Api cinta ini harus ditumbuhkan tetap dan dipelihara jangan hingga padam. Perkawinan sering ringan mulai hambar dikarenakan semangat yang paling dalam ini tinggal sedikit, lebih-lebih hampir lenyap. Untuk mampu tetap membahagiakan pasangannya, perlu sekali sikap-sikap yang menopang arah tersebut, misalnya: saling terima dan menjunjung pasangan. mencoba menata tutur-kata dan tabiat yang baik pada pasangannya. menghindari kata-kata kotor dan tindak kekerasan pada pasangannya. Aneh jika pada orang lain seseorang mampu untuk tidak bicara kotor dan berlaku keras, tapi pada pasangannya sendiri ia justru tega menyebutkan dan melaksanakan yang tidak semestinya. Unsur perawatan ini sangatlah perlu dikarenakan jika udah terlanjur dingin dan retak, sukar sekali untuk menumbuhkan cinta kembali. Menyesal kemudian umumnya hanya sedikit makna dan gunanya. 4. PERKAWINAN TERARAH PADA KELAHIRAN DAN PENDIDIKAN ANAK Sudah dikatakan pada bagian awal bahwa jalinan kasihlah yang mendasari perkawinan. Dalam jalinan kasih suami-isteri, ungkapan yang paling mendalam adalah tindak persetubuhan suami-isteri. Melalui persetubuhan yang wujudnya tindakan biologis terdapat pengalaman kasih dan penyerahan diri. Persetubuhan ini pada kodratnya terarah untuk lahirnya kehidupan baru. Maka Kedatangan anak sering diistilahkan sebagai suatu buah kasih antar mereka berdua. Karena persetubuhan merupakan ungkapan puncak dari cinta perkawinan, maka harus dijalankan secara manusiawi. Tidak boleh masing-masing hanya mengayalkan kepentingan dan keperluan sendiri. Perlu dijauhi cara-cara dan sikap yang tidak manusiawi, layaknya barangkali tindak kekerasan seksual pada pasangannya. Penting diperhatikan bahwa jika mereka tidak dianugerahi anak, ini bukanlah suatu alasan untuk bercerai ataupun untuk membatalkan perkawinan. Maka Gereja mengajarkan bahwa: “anak-anak adalah buah kasih dan anugerah Tuhan yang benar-benar istimewa dan jadi kebahagiaan orangtuanya”. Namun masih tersedia buah-buah lain dari suatu perkawinan, misalnya: kedamaian dan kebahagiaan hati hidup bersama bersama pasangannya. Kalau Tuhan menghendaki, suami-isteri dipanggil Tuhan untuk turut dan juga dalam karya penciptaan baru. Namun jika tidak dianugerahi anak pun, suami-isteri selalu turut dan juga dalam karya penyelamatan Tuhan, terutama pada pasangannya sendiri di mana kasih Tuhan jadi nyata. Lahirnya anak tidak artinya tujuan perkawinan udah terpenuhi. Dalam janji perkawinan diungkapkan terhitung bahwa pasangan menjanjikan supaya anak lahir lagi dalam pembaptisan dan pendidikan Katolik, entah secara intelektual, moral, dsb. 5. PERKAWINAN SAH ANTARA DUA ORANG YANG SUDAH DIBAPTIS ADALAH SAKRAMEN Sakramen secara lazim artinya isyarat dan fasilitas penyelamatan Tuhan. Melalui perkawinan, Tuhan mewujudkan kasih dan menjadikannya fasilitas penyelamatan. Jadi melalui perkawinan, pasangan suami-isteri dipanggil untuk saling membahagiakan dan menyempurnakan diri di hadapan Tuhan. Maka tidak boleh hanya senang tanpa mengacuhkan bimbingan Tuhan; atau menderita tetap dikarenakan mulai ikuti bimbingan Tuhan. Dalam perkawinan tentu tersedia tantangan dan membutuhkan perjuangan dan juga pengorbanan. Semua usaha bersama ini bersama berkat Tuhan membuahkan kebahagiaan dan keselamatan. Sangatlah perlu untuk berusaha terus menerus supaya Tuhan hadir di tengah-tengah keluarga. Setiap hari perlulah mengucap syukur dan mohon berkat supaya kasih mereka tetap terpelihara dan tumbuh bersama baik. Jangan hanya singgah kepada Tuhan pada waktu mengalami kesulitan.
Posted in: Lifestyle
Topics: love, christian, marry
Be the first person to like this.